Kesesuaian Konsep Uang Paksa (Dwamhsom) Dalam Perkara Ekonomi Syariah
Sebagai unsur yang menjadi tekanan psikis agar terhukum melaksanakan hukuman di dalam putusan pengadilan secara sukarela, uang paksa (dwangsom) pun juga dipraktikkan di dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama. Namun, karena absennya peraturan praktis soal praktik dwangsom di Pengadilan Agama, maka yang dipakai adalah peraturan tertulis yang ada di Pasal 606a dan 606b Reglement op de Rechtvordering (Rv.) serta Yurisprudensi Mahkamah Agung Tanggal 23 Februari 1973 Nomor: 791/K/SIP/1972. Hal ini menjadi sebab lahirlah inkonsistensi dan disparitas antara satu putusan dengan putusan pengadilan lainnya. Oleh karenanya, dirasa perlu untuk melakukan penelitian terkait topik tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan dwangsom dalam Pengadilan Agama berdasarkan regulasi yang ada dalam pertimbangan majelis hakim terkait mengadili perkara ekonomi syariah dalam rentan waktu tahun 2015 s.d. 2023. Selain itu, penelitian ini juga bermaksud untuk menganalisis kesesuaian konsep dwangsom dengan prinsip-prinsip syariah, dengan menjadikan ta’zir dan ta’widh sebagai perbandingannya.
Dalam analisisnya, objek penelitian ini adalah 8 (delapan) putusan pengadilan tingkat pertama dan banding dari tahun 2015 s.d. 2023, yang diteliti menggunakan metode pendekatan yuridis-normatif yang akan menjadikan peraturan perundang-undangan dan regulasi yang berkaitan dengan dwangsom, seperti Reglement op de Rechtvordering, yurisprudensi, dan doktrin-doktrin yang berlaku di tengah masyarakat, seperti pendapat para ahli dan Fatwa DSN-MUI, sebagai landasan hukum dalam menganalisis.
Sebagai hasil dari penelitian ini, didapati ternyata di dalam pelaksanaannya terdapat beberapa ketidaksesuaian praktik dengan regulasi yang mengatur dwangsom, walau pun sebagian besar sudah sesuai. Ketidaksesuaian tersebut diantaranya ialah putusan yang menerima dwangsom dengan hukuman membayar sejumlah uang dengan pertimbangan menghindari kerugian berkelanjutan atau tidak menerima dwangsom karena menganggap dwangsom memiliki efek seperti riba. Di sisi lain, dalam pertimbangan hukumnya, para hakim agama tampak memiliki perbedaan dalam mengartikan dwangsom, baik dari segi regulasi dan interpretasi. Terkait status dwangsom sebagai unsur perdata umum yang dipraktikkan dalam Pengadilan Agama, terdapat kecenderungan untuk disamakan dengan ta’zir, tapi di saat yang sama juga secara fundamental berbeda, karena perolehan dananya diserahkan kepada penggugat dwangsom tanpa ada ketentuan yang mengharuskan dialihkan untuk dana sosial. Adanya perbedaan ini menjadikan dwangsom tidak sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, dan oleh karena itu, diharapkan adanya peraturan terkait yang secara khusus dan menyeluruh membahas soal pelaksanaan dwangsom di dalam Pengadilan Agama.
42/HES/2023 | 42/HES/2023 | Perpustakaan FSH Lantai 4 | Tersedia |
Penerbit
Fakultas Syariah UIN Jakarta :
Jakarta.,
2023
Deskripsi Fisik
xi, 93 hal, 29cm
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain