SANKSI KEBIRI KIMIA
PELAKU KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK
(Studi Enam Putusan Tindak Pidana Persetubuhan Kepada Anak)
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan sanksi kebiri kimia dalam putusan pengadilan serta benturan sanksi kebiri kimia kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Perlindungan Anak dengan etika kedokteran. Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan, perlu pendekatan hukum yang berimbang antara pemberian efek jera dengan hak pelaku dan korban agar tercipta keseimbangan dengan mempertahankan ketertiban dan keselamatan masyarakat. Dalam enam putusan mengenai kebiri kimia terdapat keberagaman penjatuhan sanksi kebiri kimia kepada pelaku persetubuhan terhadap anak di Indonesia, dikarenakan beberapa faktor di dalam persidangan.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif-yuridis atau hukum doktrinal dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan kasus (case approach), dan analisis bahan hukum primer serta bahan hukum sekunder. Data dianalisis secara kualitatif dengan penafsiran teleologis untuk mencari tujuan dari peraturan Perundang-Undangan berdasarkan hukum positif dan teori-teori hukum untuk mengevaluasi pertimbangan hakim dalam seluruh putusan tersebut.
Analisis enam putusan sanksi kebiri kimia kepada pelaku persetubuhan terhadap anak menunjukkan keberagaman dalam penerapan hukuman oleh hakim. Meskipun sanksi ini bertujuan untuk menurunkan tingkat kekerasan seksual terhadap anak, beberapa hakim terkadang kurang mempertimbangkan dampak psikologis dan fisik korban. Sanksi kebiri kimia bertujuan untuk mencegah residivisme dan memberikan perlindungan jangka panjang bagi masyarakat. Namun, pelaksanaannya menghadapi tantangan etika kedokteran, akan tetapi dokter sebagai eksekutor sanksi dapat melaksanakan perintah jaksa sesuai dengan UU 17/2023 tentang Kesehatan, meskipun bertentangan dengan etika kedokteran. Jika dokter menolak, maka dapat dikenai pidana, dan mekanisme alternatif adalah melibatkan dokter yang berada dalam institusi penegak hukum
043/IH/2025 | 043/IH/205 | Perpustakaan FSH Lantai 4 | Tersedia |
Penerbit
Fakultas Syariah dan Hukum :
UIN Syarif Hidayatullah Jakart.,
2025
Deskripsi Fisik
viii, 90 hal.28 cm
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain