PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT KAWIN PAKSA MENURUT FIQIH MAZHAB SYAFI’I DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA
Skripsi ini membahas perbandingan hukum pembatalan perkawinan akibat kawin paksa antara Fiqih Mazhab Syafi’i dan Hukum Positif di Indonesia. Adanya perbedaan mendasar dalam pandangan kedua sistem hukum tersebut terkait unsur paksaan dalam perkawinan, di mana Hukum Positif Indonesia secara tegas menolaknya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan membandingkan konsep, dasar hukum, serta prosedur pembatalan perkawinan akibat kawin paksa menurut kedua pandangan tersebut.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif komparatif dengan pendekatan normatif-empiris, yakni mengkaji data dari berbagai referensi fiqih Mazhab Syafi’i, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pola pikir yang digunakan adalah deduktif, dimulai dengan menganalisis data umum kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan fundamental. Menurut Fiqih Mazhab Syafi’i, pembatalan perkawinan disebut fasakh yang terjadi karena cacat atau ketidakabsahan akad sejak awal, namun perkawinan yang dipaksakan oleh wali mujbir (wali yang memiliki hak memaksa) dianggap sah dan tidak dapat dibatalkan oleh mempelai wanita. Sebaliknya, Hukum Positif di Indonesia, yang diatur dalam UU Perkawinan dan KHI, menolak konsep wali mujbir dan menjadikan paksaan sebagai alasan utama untuk pembatalan perkawinan melalui putusan pengadilan. Meskipun demikian, keduanya memiliki titik temu, seperti kesepakatan bahwa pembatalan tidak boleh merugikan anak, dan status nasab anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan tetap sah.
08/PMH/2025 | 08/PMH/2025 | Perpustakaan FSH Lantai 4 | Tersedia |
Penerbit
Fakultas Syariah dan Hukum :
UIN Syarif Hidayatullah Jakart.,
2025
Deskripsi Fisik
x,78 hal 28 cm
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain