STATUS HUKUM SAKSI PEREMPUAN DALAM PENETAPAN
PENGADILAN AGAMA
Kanz Luzman Ibrahim, NIM 11210440000051, “STATUS HUKUM
SAKSI PEREMPUAN DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA.”
Program Studi Hukum Keluarga (Aḥwāl Syakhsīyyah) Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2025 M/1446 H.
Perempuan sering diperlakukan berbeda dengan laki-laki dalam kacamata
fikih. Salah satu contohnya adalah di mana kesaksian perempuan dalam pernikahan
tidaklah dianggap memadai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
menganalisis seperti apa hakim dalam memutuskan perkara, apa saja pertimbangan
majelis hakim dari pengadilan agama Tanjung Pandan dan Samarinda dalam
memutuskan perkara mengenai status perempuan sebagai saksi dengan
menggunakan feminist legal theory. Juga untuk mengetahui persamaan dan
perbedaan di antara kedua penetapan tersebut. Feminist legal theory berusaha
menyoroti subordinasi terhadap perempuan. Sering kali perempuan tidak dianggap
sebagai subjek hukum yang setara dengan laki-laki.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis dengan pendekatan
sosio-legal . Data yang digunakan bersifat kualitatif dan dikumpulkan lewat metode
studi dokumen dan wawancara yang bertujuan untuk mengkaji penjatuhan
penetapan perkara isbat nikah dalam Penetapan Nomor 0133/Pdt.P/2019/PA.TDN.
dan Penetapan Nomor 8/Pdt.P/2011/PA. Smd.
Hasil penelitian mengungkapkan adanya perbedaan mendasar dalam
pertimbangan hukum antara Majelis Hakim Pengadilan Agama Tanjung Pandan dan
Pengadilan Agama Samarinda dalam melihat legalitas status hukum perempuan.
Dalam Penetapan Nomor 0133, Majelis Hakim Tanjung Pandan mengabulkan
permohonan isbat nikah meskipun salah satu saksi pernikahannya adalah
perempuan. Penetapan ini didasarkan pada upaya rekonstruksi pandangan ulama
fikih klasik menggunakan argumentasi kesetaraan relasi gender yang menjadi salah
satu pandangan dalam feminist legal theory. Majelis Hakim Tanjung Pandan tidak
terlalu terikat dalam paradigma fikih dalam memutuskan perkara. Sebaliknya,
dalam Penetapan Nomor 8, Majelis Hakim Samarinda menolak permohonan isbat
nikah dengan alasan tidak terpenuhinya syarat dua saksi laki-laki, berlandaskan
argumentasi fikih dan Kompilasi Hukum Islam. Spirit fikih dapat dirasakan sangat
kental dalam penetapan ini. Kesamaan di antara dua penetapan terletak hanya pada
kesamaan perkara yang ditanganinya. Penulis menyimpulkan bahwa pertimbangan
hakim di Tanjung Pandan menunjukkan bahwa Majelis Hakim telah
mengakomodasi kesetaraan relasi gender dalam keputusannya sebagaimana dalam
feminist legal theory. Sedangkan Majelis Hakim di Pengadilan Agama Samarinda
tetap berpegang pada pandangan fikih tradisional yang tidak mendukung
penggunaan argumen kesetaraan gender seperti pada feminist legal theory.
039/HK/2025 | 039/HK/2025 | Perpustakaan FSH Lantai 4 | Tersedia |
Penerbit
Fakultas Syariah dan Hukum :
UIN Jakarta.,
2025
Deskripsi Fisik
xvii, 94 HAL; 28 CM
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain