PEREMPUAN SEBAGAI KEPALA KUA DI INDONESIA (STUDI ATAS PERMA NO. 20 TAHUN 2019 TENTANG PENCATATAN NIKAH DALAM PERSEPEKTIF GENDER)
Noval Ainur Latif. NIM 11210440000116. PEREMPUAN SEBAGAI KEPALA KUA DI INDONESIA (STUDI ATAS PERMA NO. 20 TAHUN 2019 TENTANG PENCATATAN NIKAH DALAM PERSPEKTIF GENDER. Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1446 H/2025 M.
Penelitian ini membahas tentang peluang dan tantangan yang dihadapi perempuan dalam menjabat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di Indonesia. Fokus utama dari kajian ini adalah menganalisis Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Nikah, khususnya terkait ketentuan yang menyamakan jabatan Kepala KUA dengan peran penghulu—yang selama ini identik dengan laki-laki. Analisis dilakukan menggunakan pendekatan Feminist Legal Theory untuk melihat bagaimana regulasi tersebut memengaruhi akses perempuan terhadap posisi kepemimpinan di lingkungan keagamaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan mengapa perempuan layak dan seharusnya diberi kesempatan yang sama untuk menjabat sebagai Kepala KUA, serta menilai sejauh mana kebijakan yang ada mencerminkan prinsip keadilan dan kesetaraan gender dalam struktur hukum dan birokrasi keagamaan di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dengan metode analisis kualitatif. Sumber data utamanya adalah Peraturan Menteri Agama No. 20 Tahun 2019, didukung oleh literatur ilmiah terkait gender, hukum Islam, dan feminisme hukum. Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual untuk menilai sejauh mana regulasi tersebut mendukung prinsip keadilan gender dalam birokrasi keagamaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara hukum atau normatif, tidak ada aturan yang secara jelas melarang perempuan untuk menduduki jabatan sebagai Kepala Kantor Urusan Agama (KUA). Namun, dalam praktiknya, jabatan ini sering disamakan dengan tugas penghulu atau wali hakim yang selama ini dipersepsikan hanya bisa dijalankan oleh laki-laki. Hal ini menimbulkan hambatan struktural yang membuat perempuan sulit mengakses posisi tersebut, meskipun mereka memiliki kemampuan dan memenuhi syarat. Dari sudut pandang Feminist Legal Theory, permasalahan ini muncul akibat tafsir hukum yang masih bias gender dan belum berpihak pada keadilan bagi perempuan. Oleh karena itu, diperlukan upaya penafsiran ulang terhadap regulasi yang ada, pembaruan kebijakan yang lebih inklusif, serta peningkatan kesadaran gender di kalangan birokrasi dan masyarakat. Langkah-langkah ini penting untuk mewujudkan keadilan yang bersifat substantif, di mana perempuan memiliki akses yang sama terhadap jabatan publik, termasuk dalam sektor keagamaan.
075/HK/2025 | 075/HK/2025 | Perpustakaan FSH Lantai 4 | Tersedia |
Penerbit
Fakultas Syariah dan Hukum :
UIN Jakarta.,
2025
Deskripsi Fisik
viii, 97 HAL; 28 CM
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain