PERBANDINGAN PENYELESAIAN SENGKETA SYARIAH MELALUI
CARA ARBITRASE DI BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL
(BASYARNAS) DAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA SEKTOR JASA KEUANGAN (LAPS SJK)
Sistem perekonomian syariah di Indonesia telah mengalami pertumbuhan
yang sangat cepat selama dua dekade terakhir. Dengan meningkatnya aktivitas
bisnis, termasuk ekonomi syariah, tidak dapat dihindari bahwa terdapat potensi
sengketa antara berbagai pihak yang terlibat, baik itu antara perusahaan dengan
perusahaan lainnya atau antara perusahaan dengan konsumennya. Arbitrase
menjadi salah satu alternatif menyelesaikan sengketa ekonomi syariah menjadi
pilihan para pelaku ekonomi syariah, jika ada sengketa diantara para pihak.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa mengatur tentang bagaimana proses penyelesaian sengketa
di luar Pengadilan.
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum empiris dengan pendekatan
perbandingan hukum dan efektifitas hukum. Dan data diolah secara kualitatif. Pada
penelitian ini, sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek
penelitian dengan menggunakan alat pengambilan data langsung pada subyek
sebagai sumber informasi yang dicari. Sumber tersebut diperoleh dari wawancara
secara langsung dengan pihak yang terlibat yaitu narasumber Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persamaan berperkara secara
arbitrase di BASYARNAS dan LAPS SJK adalah kedua lembaga hanya menerima
sengketa keperdataan, apabila pemohon tidak hadir pada sidang pertama maka
gugur permohonan arbitrasenya. Perbedaannya ialah pada BASYARNAS,
Intermal Dispute Resolution tidak menjadi persyaratan untuk pengajuan
penyelesaian sengketa. Sedangkan pada LAPS Internal Dispute Resolution menjadi
bagian persyaratan pengajuan penyelesaian sengketa. Kemudian membandingkan
efektivitas kedua lembaga yang diukur melalui lima faktor, yaitu faktor hukum
adanya upaya pembatalan putusan ke PA atau PN memungkinkan menimbulkan
ketidakpastian dalam penyelesaian sengketa. Faktor penegak hukum, arbiter
diklasifikasikan berdasarkan keahlian. Faktor sarana atau fasilitas, kedua lembaga
telah memenuhi syarat efektif dengan sarana pendukung. Faktor masyarakat,
masyarakat membutuhkan lembaga yang menyelesaikan sengketa cepat dan efisien.
Faktor kebudayaan, kendala ketidak disiplinannya masyarakat baik pemohon
maupun termohon dalam membayar biaya perkara.
93/HES/2023 | 93/HES/2023 | Perpustakaan FSH Lantai 4 | Tersedia |
Penerbit
Fakultas Syariah dan Hukum :
UIN Jakarta.,
2025
Deskripsi Fisik
ix,109hal; 28cm
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain