PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORUPSI OLEH HAKIM AGUNG DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF
(Studi Putusan Nomor 23/Pid.Sus-TPK/2023/PN Bdg)
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor yang melatarbelakangi kasus korupsi Hakim Agung Sudrajad Dimyati dalam Putusan Nomor 23/Pid.Sus-TPK/2023/PN.Bdg, dengan fokus pada pertanggungjawaban pidana, perspektif hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam, serta pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif melalui studi kasus dan kepustakaan, penelitian ini menelaah data primer berupa putusan pengadilan, data sekunder berupa buku, jurnal, dan peraturan perundang-undangan, serta data tersier dari perspektif hukum Islam. Hasil penelitian menunjukan Pengadilan negeri bandung nomor 23/Pid.sus-TPK/2023/Pn.Bdg, Sudrajat Dimyati dinyatakan bersalah karena telah terlibat melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama. Dalam putusan tersebut, jaksa penuntut umum menjatuhi hukuman penjara selama 13 tahun bagi Sudrajat Dimyati terkait kasus penerimaan suap dalam pengurusan perkara kasasi pailit Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana di Mahkamah Agung dengan jumlah SGD 80.000 (delapan puluh ribu dolar Singapura) dan denda Rp 1 miliar dan jika tidak dibayarkan maka akan diganti pidana kurungan selama tiga bulan, namun pada putusan akhir Hakim menjatuhkan pidana penjara 8 tahun dan denda Rp 1 miliar rupiah dan jika tidak dibayarkan maka akan diganti 3 bulan kurungan. Adapun pertimbangan yang meringankan terdakwa yang hanya mendapat vonis menjadi 8 tahun yaitu berprilaku sopan dalam suatu persidangan, memilki tanggungan keluarga, dan sebelumnya terdakwa belum pernah di hukum, menurut pendapat penulis pertanggungjawaban pidana oleh hakim agung prosesnya sama disamakan dengan tindak pidana pada umumnya. Yang
vi
membedakan adanya pemberatan hukuman dikarenakan Hakim adalah pejabat publik. hukuman 8 tahun penjara untuk hakim dalam kasus korupsi secara hukum masih sesuai dengan undang- undang tindak pidana korupsi. Namun, secara etik, moral, dan harapan masyarakat, hukuman tersebut mungkin dianggap tidak mencerminkan keadilan, terutama bila kerugian negara besar atau korupsinya sistemik.Bahkan, bila dilihat dari sisi etik dan jabatan, seorang hakim seharusnya dijatuhi hukuman lebih berat, karena Mempunyai kedudukan dan kepercayaan publik yang tinggi Melakukan korupsi dapat merusak integritas lembaga peradilan dan termasuk dalam pemberatan hukuman Pasal 52 KUHP bisa diterapkan untuk pejabat publik. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan internal melalui peningkatan etika dan moral hakim, serta pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial dan penerapan pendidikan antikorupsi di berbagai institusi guna memperkuat integritas peradilan dan mencegah terulangnya kasus serupa.
| 57/HPI/2025 | 57/HPI/2025 | Perpustakaan FSH Lantai 4 | Tersedia |
Penerbit
Fak. Syariah dan Hukum :
UIN Syarif Hidayatullah Jakart.,
2025
Deskripsi Fisik
xii,60 hal; 28 cm
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain