SANKSI PIDANA PELAKU POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA DI TUNISIA PAKISTAN DAN INDONESIA
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library reseach), yaitu penelitian yang dilakukan dengan jalan menelaah bahan-bahan pustaka baik berupa buku, jurnal, maupun sumber lainnya. Teknik dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, sedangkan pengumpulan datanya adalah menggunakan data primer dan sekunder. Pendekatan penelitian digunakan adalah pendekatan normatif serta filosofis, yaitu pendekatan dengan melihat persoalan yang dikaji dengan berlandaskan pada teks-teks Al-Qur’an, Al-Hadis dan Undang-undang serta pendapat ulama yang berkaitan dengan poligami. Pendekatan filosofis dengan memahami masalah tersebut dengan hikmah-hikmah dan tujuan yang terkandung dalam suatu penetapan hukum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa poligami di Tunisia dan Pakistan tidak memperbolehkan poligami. Tetapi berbeda dengan Indonesia poligami di perbolehkan. Sedangkan poligami mutlak dilarang di Tunisia, Hukum keluarga di Tunisia pada saat ini menggunakan Hukum Status Pribadi (Law of Personal Status) yang disebut Majallah al-Ahwal al-Syakhhiyyah. UU Tunisia ini sampai hari ini masih dinilai sebagai hukum keluarga yang paling progresif di lingkungan Negara-negara Islam di Afrika. Sedangkan Poligami di Pakistan di perbolehkan jika telah mendapatkan izin tertulis Lembaga Arbitrase (Majelis Hakam), Hukum keluaraga di Pakistan pada saat ini mengunakan Muslim Family Law Ordinance yang disebut The Laws Ordinance.
Pada pasal 18 undang-undang Tunisia dinyatakan bahwa poligami dilarang dan barang siapa melakukan akad nikah lagi dengan seseorang sedangkan ia masih terikat dengan perkawinan sah dengan orang lain sesuai UU
vi
maka ia diancam dengan hukuman penjara satu tahun dan atau denda 240.000 (dua ratus empat puluh ribu) Maalim/Frank Tunisia. Sedangkan Pada pasal 6 ayat 1, 2 dan 3 undang- undang Pakistan dijelaksan bahwa seorang laki-laki yang melakukan poligami tanpa izin isteri dan Lembaga Arbitrase akan dihukum penjara maksimal satu tahun atau denda maksimal 5000 rupee atau kedua-duannya. Sedangkan di Indonesia tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974. namun masih ada dispensasi untuk melangsungkan perkawinan sampai maksimal 4 orang. dengan persetujuan pengadilan setelah izin dari istri sedangkan PNS diberikan izin apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah salah satu syarat alternatife.
07/PMH/2020 | 07/PMH/2020 | Perpustakaan FSH Lantai 4 | Tersedia |
Penerbit
FAK Syariah dan Hukum UIN Jakarta :
UIN Jakarta.,
2020
Deskripsi Fisik
xv, 78 Hal
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain