Perlindungan Landasan Hukum Pada Penetapan Dispentasi Kawin
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan dari alasan yang diajukan pemohon dalam mengajukan dispensasi kawin. Selain itu untuk mengetahui landasan hukum yang digunakan Majelis Hakim dalam mempertimbangkan alasan yang diajukan para Pemohon terkait pemberian dispensasi kawin serta mengetahui aspek di luar hukum yang dipertimbangkan hakim dalam mengabulkan dan menolak permohonan dispensasi kawin.
Penulis menggunakan metode Penelitian normatif, yang merupakan penelitian yang mengkaji studi dokumen diantaranya perundang-undangan, penetapan majelis hakim, teori hukum yang dapat menjadi bahan data sekunder. Sumber data terdiri dari Penetapan perkara Dispensasi Kawin yang dibatasi kepada penetapan yang amarnya mengabulkan yakni pada penetapan (Nomor 29/Pdt.P/2022/MS.Skl, Nomor 7/Pdt.P/2022/PA.Wgp, Nomor 401/Pdt.P/2018/PA.Jb, Nomor 20/Pdt.P/2018/PA.Jb, Nomor 506/Pdt.P/2020/PA.Pt) dan penetapan yang amarnya menolak yakni (Nomor 37/Pdt.P/2018/PA.Rtu, Nomor 0228/Pdt.P/2020/PA.Pkj, Nomor 0229/Pdt.P/2018/ PA.Kab.Kdr, Nomor 0002/Pdt.P/2019/PA.Twg, Nomor 181/Pdt.P/2020/PA.Tas).
Hasil penelitian ini menunjukkan penetapan yang amarnya mengabulkan semuanya diikuti dengan alasan ‘sangat mendesak’ disertakan bukti ‘telah hamil’ calon mempelai wanitanya. Majelis Hakim dalam pertimbangannya selalu menyertakan ‘kesanggupan orangtua’ untuk menjamin kehidupan setelahnya yang pada intinya untuk mensejahterakan anaknya. Selain itu, persangkaan Hakim dalam menilai calon suami sanggup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga nantinya diikuti penjelasan terkait pekerjaan dan nominal penghasilannya. Sementara penetapan yang amarnya menolak, alasan yang disampaikan para Pemohon sangat beragam macamnya tetapi tidak dibuktikan dengan keadaan ‘Telah Hamil’. Selain itu, kesanggupan orangtua tidak terdapat dalam dalil-dalil surat permohonan serta kemampuan calon suami dari sudut pandang penghasilan tidak digunakan oleh Hakim untuk mempertimbangkan permohonannya. Melainkan Majelis Hakim selalu menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 terkait definisi anak. Mereka menilai bahwa tujuan dari pernikahan tidak dapat tercapai jika pernikahan yang dilakukan oleh seseorang yang masih dalam kategori anak.
6/HK/2023 | 6/HK/2023 | Perpustakaan FSH Lantai 4 | Tersedia |
Penerbit
Fakultas Syariah UIN Jakarta :
Jakarta.,
2023
Deskripsi Fisik
xii, 99 hal, 29cm
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain