Selamat datang di
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ketik kata kunci dan enter

Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan Perkara Isbat Nikah Istri Berstatus Poliandri (Studi Penetapan Nomor 0011/Pdt.P/2021/PA.Kr di Provinsi Lampung)

No image available for this title
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan apa yang menjadi pertimbangan hakim sehingga pemohon tidak memperoleh hak penetapan isbat nikah baik melalui penetapan dengan amar tidak menerima serta implikasi hukum penetapan isbat nikah tersebut terhadap status anak dan hak-hak hukum anak yang lahir dari perkawinan poliandri.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif yuridis dengan metode pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan undang-undang. Teknik pengumpulan data menggunakan metode studi kepustakaan (library research) dan studi dokumen dengan mengkaji artikel maupun jurnal yang berkaitan dengan judul yang dibahas. Sedangkan analisis data yang digunakan adalah metode analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemohon tidak memperoleh hak penetapan isbat nikah karena Hakim Pengadilan Agama Krui menilai bahwa perkawinan para pemohon terdapat cacat materiil dengan mengetahui bahwa status Pemohon II adalah poliandri, ketika Pemohon II melangsungkan perkawinan dengan Pemohon I ia belum bercerai dengan suami pertamanya. Sehingga penetapannya tidak diterima oleh Hakim karena melanggar ketentuan hukum islam dan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya status hukum poliandri, maka perkawinannya rusak (fasid) karena syarat perkawinannya belum terpenuhi dan belum dianggap sah secara yuridis formal, perkawinan pemohon I dan Pemohon II dianggap haram sehingga perkawinannya tidak dapat diisbatkan ke Pengadilan Agama. Secara Hukum, status anak dari Poliandri tidak dapat dinasabkan kepada Ayah Kandungnya. Tetapi ada dua pendapat yang berbeda dalam menetapkan status dan hukum anak. Pertama, status hukum anaknya tidak sah. Sehingga secara hukum, anak tersebut tidak berhak mendapatkan hak-hak nafkah dan warisan dari ayah kandungnya. Kedua, perkawinan yang terjadi antara keduanya dinilai sebagai perkawinan yang fasid. Menurut mazhab hanafiyah, anak lahir dari perkawinan yang fasid dapat dinasabkan kepada ayah kandungnya, Sedangkan menurut Hukum Positif di Indonesia, anak dari Pemohon I dan Pemohon II dianggap sebagai Anak Luar Kawin karena terlahir dari perkawinan orang tuanya yang tidak sah. Sehingga akibat hukum anak luar nikah menurut KHI hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga ibunya. Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi nomor No.46/PUU-VIII/2010 memberikan kepastian hukum terhadap status anak luar kawin yang mana anak tersebut dapat mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan ayahnya apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti melakukan tes DNA. Adapun Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya Nomor 10 tahun 2012 untuk melindungi hak-hak anak hasil zina atau tidak sah, MUI memberikan hukuman takzir kepada laki-laki berupa kewajiban mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut dan memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
Ketersediaan
84/HK/202384/HK/2023Perpustakaan FSH Lantai 4Tersedia
Informasi Detil
Judul Seri

-

No. Panggil

84/HK/2023

Penerbit

Fakultas Syariah UIN Jakarta : Jakarta.,

Deskripsi Fisik

ix, 58 hal, 29cm

Bahasa

ISBN/ISSN

-

Klasifikasi

84/HK/2023

Informasi Detil
Tipe Isi

-

Tipe Media

-

Tipe Pembawa

-

Edisi

-

Subyek

-

Info Detil Spesifik

-

Pernyataan Tanggungjawab
Tidak tersedia versi lain

Share :


Chat Pustakawan