Isbat Poligami Dalam Perspektif Feminist Legal Theory Studi Kasus Pada Putusan Peradilan Agama)
Studi ini bertujuan untuk memahami, mengidentifikasi dan menganalisis putusan hakim dalam memutus perkara isbat poligami, pasca keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2018 serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2019 ditinjau Perspektif Feminist Legal Theory.
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah jenis penelitian kualitatif, dengan pendekatan penelitian hukum normatif dan pendekatan perundang-undangan. Sumber bahan hukum primer berupa Putusan No. 22/Pdt.G/2021/PA.Cms Putusan No. 51/Pdt.G/2021/PA.Kdg Putusan No. 1790/Pdt.G/2020/PA.JB. Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019, adapun sumber bahan hukum sekunder berupa buku, jurnal, serta hasil penelitian yang terkait dengan tema penelitian. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1). Dasar pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam mengabulkan ketiga putusan ini adalah sama yaitu, berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 14 sampai Pasal 38 kompilasi hukum islam (KHI), serta berlandaskan kepada pertimbangan hakim bahwa negara harus melindungi hak-hak dasar warganya sesuai dengan Undang-Undang 1945, sehingga hakim mengabaikan ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 serta Pasal 7 ayat 3 (huruf c) kompilasi hukum islam. Sehingga tampak bahwa SEMA No 3 Tahun 2018 serta SEMA No 2 Tahun 2019 tidak menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara isbat poligami. (2). Setelah melihat pertimbangan yang digunakan hakim diatas, maka apabila ditinjau menurut pemahaman Islamic Feminist Legal Theory bila poligami diizinkan maka suami hanya mampu berlaku adil secara materil sesuai surat An-Nisa’ ayat 3 yang mana dengan menggunakan terma qisth. Sedangkan keadilan immaterial ditegaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 129 dengan menggunakan terma ‘adil yang mana adil juga dari segi cinta bathin, dan bagi pandangan feminis, seseorang tidak akan dapat adil dalam memberikan cinta secara bathiniyyah, maka hasilnya adalah poligami tidak direstui oleh Feminist Legal Theory. Oleh karena itu, ayat 3 Surat An-Nisa’ justru dipahami kaum feminis sebagai rek-omendasi atas perkawinan monogami, yang mana hal ini sejalan dengan makna yang terkandung dalam Pasal 3 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974. Namun putusan hakim mengabulkan isbat poligami juga tidak jauh dari mempertimbangkan kemaslahatan istri kedua dan anak-anaknya, yang mana apabila hakim tidak mengabulkan isbat poligami, maka istri keduanya akan kehilangan nafkah zaujiyyah, harta bersama serta anak-anaknya akan kehilangan “sosok” seorang ayah
1/HK/2024 | 1/HK/2024 | Perpustakaan FSH Lantai 4 | Tersedia |
Penerbit
Fakultas Syariah UIN Jakarta :
Jakarta.,
2024
Deskripsi Fisik
viii, 84 hal, 29cm
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain