Kebijakan Perkawinan Belum Tercatat: Perspektif Kepastian Hukum Dan Maslahah Mursalah
Studi ini membahas mengenai pencatatan perkawinan yang belum tercatat, disebabkan karena adanya Peraturan Kementerian Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 mengenai kebolehan pasangan perkawinan belum tercatat yang mencatatkan perkawinannya di dalam kartu keluarga (KK), sehingga pasangan perkawinan belum tercatat dapat mencatatkan perkawinannya dengan frasa ‘kawin belum tercatat’. Peraturan tersebut berpotensi menabrak norma hukum yang ada yaitu Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam pasal pasal 2 ayat 2 yakni “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sehingga terdapat tarik-menarik norma hukum yang menuai kontroversi dalam pencatatan perkawinan. Hal tersebut juga didukung dengan sebuah Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) yang menjadi dokumen pendukung dalam pencatatan perkawinan belum tercatat. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan normatif yang ditunjang dengan statute approach melalui metode analisis deskriptif serta melakukan studi kepustakaan dan wawancara dalam memperoleh data.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam penjelasan Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 Tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil ini tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (2) selama tidak diartikan mengesahkan atau melegalkan perkawinan belum tercatat, tetapi peraturan tersebut hanya mencatatkan bahwa peristiwa perkawinan tersebut benar ada, dan memenuhi rukun dan syarat/ketentuan sesuai peraturan perundang-undangan. Kebijakan pencatatan peristiwa perkawinan tersebut merupakan bentuk afirmatif policy yang bersifat khusus dan sementara untuk melindungi hak-hak Istri dan Anak secara hukum positif. Sehingga, Akomodasi yang dilakukan negara bertujuan untuk melindungi dan memberi jaminan agar penduduk Indonesia, serta memperjelas kedudukan hak dan kewajiban sesuai dengan status perkawinannya (sebagai istri/suami/anak) dan memberikan kepastian mengenai asal usul anak, siapa ayah dan ibunya yang disebabkan perkawinan belum tercatat. Maka dari itu, kebijakan ini memudahkan masyarakat untuk mengakses berbagai layanan publik tanpa adanya diskriminasi serta mendapat perlindungan dan kepastian hukum.
8/HK/2024 | 8/HK/2024 | Perpustakaan FSH Lantai 4 | Tersedia |
Penerbit
Fakultas Syariah UIN Jakarta :
Jakarta.,
2024
Deskripsi Fisik
xv, 120 hal, 29cm
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain